Biasanya, tokoh utama dalam cerita punya tujuan besar: menyelamatkan dunia, mengejar cinta, atau mencari jawaban. Tapi bagaimana jika tokohnya justru nggak tahu ke mana harus pergi? Nggak semua perjalanan dimulai dengan peta. Terkadang, arah baru muncul justru saat tersesat.
Cerita seperti ini menawarkan kejujuran yang jarang ditemui—bahwa tidak semua orang punya arah sejak awal. Dan justru karena itu, cerita bisa terasa lebih manusiawi, lebih dalam, dan lebih berani.
1. Ketidakpastian sebagai sumber konflik
Ketika protagonis tidak punya tujuan, konflik justru muncul dari dalam. Pertanyaan seperti “apa yang harus dilakukan selanjutnya?” bisa jadi lebih kuat daripada konflik eksternal. Cerita menjadi ruang eksplorasi perasaan, keraguan, dan pencarian makna.
2. Fokus pada pertumbuhan karakter, bukan pencapaian
Alih-alih mengejar akhir, cerita seperti ini membiarkan karakter berkembang di tengah proses. Apa yang berubah dalam diri mereka seiring waktu jadi pusat perhatian. Pembaca diajak menyelami evolusi emosi dan pemikiran, bukan sekadar menunggu klimaks.
3. Dunia di sekitar jadi lebih hidup
Karena tokohnya tidak terikat tujuan spesifik, interaksi dengan lingkungan bisa jauh lebih bebas. Setiap tempat yang disinggahi, orang yang ditemui, atau kejadian kecil yang dialami punya peluang jadi momen krusial. Dunia terasa luas dan cerita tidak terkurung plot konvensional.
4. Ruang untuk absurditas dan kejutan
Tanpa tujuan utama, cerita bisa bergerak ke arah yang tidak biasa. Peristiwa acak, perubahan suasana mendadak, atau interaksi yang tak terduga bisa muncul kapan saja. Justru dari ketidakpastian itulah tercipta kejutan-kejutan yang menyegarkan.
5. Refleksi terhadap kehidupan nyata
Tidak semua orang tahu harus ke mana. Fiksi dengan protagonis tanpa arah merefleksikan kenyataan bahwa tersesat adalah bagian dari hidup. Ini jadi bentuk narasi yang dekat dengan realita, khususnya untuk generasi yang sedang mencari tempatnya di dunia.
6. Atmosfer jadi pusat narasi
Ketika tidak ada misi yang mendesak, cerita bisa lebih lambat dan kontemplatif. Ini memberi ruang bagi atmosfer untuk berbicara. Deskripsi, suara hati, dan simbol bisa bekerja lebih dalam karena tidak dikalahkan urgensi aksi.
7. Ending yang terbuka lebih masuk akal
Karena tokoh tidak mengejar tujuan tunggal, akhir cerita pun tidak harus menyelesaikan semua hal. Ending bisa menggantung, ambigu, atau hanya menunjukkan bahwa perjalanan masih berlangsung. Ini memberi kesan bahwa cerita adalah cuplikan kehidupan, bukan jawaban akhir.
8. Menulis dari sisi yang lebih jujur
Menghadirkan karakter yang tidak punya arah memaksa penulis untuk jujur: tidak semua narasi harus rapi dan selesai. Terkadang justru di dalam kekacauan dan ketidaktahuan, muncul keindahan yang tidak bisa dibuat-buat.
Dengan merangkul ketidakjelasan, cerita seperti ini bisa membuka ruang baru dalam fiksi. Bukannya melemahkan, protagonis yang tersesat justru memperlihatkan sisi paling autentik dari sebuah perjalanan: bertumbuh tanpa tahu arah pasti.