Di antara bunyi riuh kecipak air menghantam bibir pantai. Dengan pasir berarak hanyut ke sana kemari. Seorang manusia terbaring lemas di sana. Kemeja putih yang membalut tubuh atas kini hanya tersisa sebagian. Robekan kain pada celana hitam pun ikut menari terseret arus ombak, seolah mengerti jika sang tuan sudah sangat lunglai.
“Enigma. Pukul berapa sekarang?”
Suara parau terdengar menggema, namun tak ada
jawaban. Sunyi. Hanya semilir angin yang mencoba berisik menggoyang dedaunan
tak jauh dari tempat sang tuan.
Beberapa saat kemudian sang tuan
mengerjap-ngerjap. Memandang kosong luasnya langit bertabur bintang.
“Dimana lokasiku sekarang, Enigma!”
Lagi-lagi sunyi, hanya bola mata sang tuan yang
bergerak seolah sedang meneliti.
“Perbesar gambarnya!”
Smartlens yang terpasang pada kedua mata sang
tuan pun mematuhi perintah. Memperbesar gambar titik lokasi sang tuan.
Setelah merasa cukup mendapatkan apa yang ia cari,
sang tuan menutup kelopak mata lumayan lama, sekitar ada 10 detik. Untuk
mematikan fitur canggih dari kontak lensa yang terpasang.
Ia kembali mengerjap-ngerjap, menormalkan
penglihatan agar lebih fokus pada sekeliling. Menyapu pandangan dan mendapati
jika sekarang purnama tengah bersinar terang.
Sang tuan pun hanya tersenyum sembari menarik
nafas panjang.
Sungguh sangat indah sekali sekarang. Lebih baik
lagi jika ada teman hati yang bersamanya saat ini.
“Bulannya sangat indah bukan ?” Ucap lirih sang
tuan.
-----------------------
Tiga orang dewasa terlihat sedang sangat serius.
Salah satunya memasang wajah frustrasi. Satu lagi menahan amarah dan orang
terakhir hanya terdiam menampilkan ekspresi memohon.
“Tidak bisa. Kita sudah coba semua cara itu.”
“Tapi yang ini belum. Percaya sama aku. Kita bisa
ke sana. Kau punya akses lewat orang tuamu. Lalu kau juga bisa karena kau
pernah ke sana.”
“Tidak dengan pulau itu San. Cukup! Aku sudah
lelah bergadang menemani El semalam. Dan sekarang kau merengek seperti ini
lagi.”
Sandra terdiam memandangi wajah kedua temannya.
Mereka seperti gembel sekarang. El yang terlihat kacau dengan kemeja tidur.
Sedangkan Wildan hanya berbalutkan boxer dan kaos putih transparan.
Jika dilihat-lihat. Walaupun dengan wajah
mengantuk tidak berbentuk seperti itu, El dan Wildan masih bisa terbilang tampan.
Si kacamata manis dengan lesung pipit di salah
satu pipinya berkombinasi dengan si kekar berotot berwajah maskulin. Sungguh
perpaduan yang sangat menyenangkan kaum hawa.
Tapi tidak untuk Sandra. Entah Karena otaknya
sudah terbentur oleh ketampanan laki-laki lain atau memang karena buta, ia
tidak sadar jika kedua temannya punya pesona.
“Sudah,
dari pada kamu marah, mending ambil pesanan makanan kita di bawah. Lalu kau,
Sandra, tolong bereskan tempat ini dan dinginkan kepalamu. Aku mau mandi. ”
Ucap El menengahi setelah muak dengan rengekan Sandra.
Sudah lebih dari empat bulan Sandra menggila
ingin menyusul kekasihnya yang entah pergi kemana. Dan mau tidak mau kedua
temannya harus menampar keras-keras Sandra agar kembali pada realita. Semua itu
membuat mereka sedikit kewalahan dalam menghadapi keadaan.
Selesai El mandi, Makanan sudah berada di atas
Meja. Wildan dan Sandra duduk berjauhan dan saling memalingkan muka. Padahal
tangan keduanya sibuk bersama-sama membuka bungkus makanan dan menuangkan
isinya di atas piring besar.
Seperti tradisi ketika makan mereka akan
mencampurkan semua lauk, sayur dan nasi pada satu piring besar, lalu memakannya
bersama dalam satu wadah. Terlihat menjijikkan memang, tapi tidak untuk mereka
bertiga yang sudah berteman lama.
Mereka dikenal dengan ‘triple problem’ atau biasa
disebut dengan nama biang kerok di kalangan dosen. Tiga mahasiswa tingkat akhir
yang terjebak skripsi, padahal mereka termasuk dalam golongan mahasiswa cerdas
dengan IPK yang selalu fantastis.
Beberapa orang beranggapan jika mereka terjebak
di fase skripsi karena obsesi gila mereka akan kebenaran.
Pernyataan itu terbentuk bukan tanpa alasan.
Dengan bukti mereka sering sekali mengulik kasus kecil sampai kasus terpenting
di kampus. Pada akhirnya membuat mereka mendapatkan julukan biang kerok dari
orang-orang yang merasa terancam.
“Ayolah, Kalian jangan kekanak-kanakan seperti
itu. Makan itu kegiatan yang sakral, tidak boleh ada amarah yang terpendam.
Kalau belum selesai, aku kasih waktu untuk menyelesaikan sekarang juga. Dengan
konsekuensi semua makanan itu menjadi milikku.”
El yang sedang membujuk langsung dapat tatapan
tajam dari mereka berdua.
“Ok, baiklah jika itu keputusan kalian.” Ujar El
sambil menyengir. Lalu mendudukkan pantat di kursi antara mereka berdua.
Menjejalkan sesendok penuh makanan ke dalam mulut.
---------------------
“Seperti yang kalian tahu. Kemarin, kita mendapatkan
notifikasi dari alat khusus buatanku. Hasilnya kita mendapat koordinat yang
mungkin si bangsat ada di sana.” Ujar El menjelaskan dengan menambahkan tekanan
pada kata “bangsat”.
Sandra yang mendengar kata itu langsung menatap
El tajam sedangkan Wildan hanya mangut-mangut setuju.
“Dan kau langsung menggila setelah tahu semua itu
tadi pagi.” El malah menyiram bensin di atas api yang sedang berkobar.
Melihat reaksi Sandra yang hanya diam menahan
kesal. El dan Wildan tersenyum tipis seolah berhasil mengerjai temannya.
“Padahal belum tentu itu koordinat terakhir dia.
Mungkin bisa saja dia di sana hanya mampir sebentar.”
“Dengan headline berita hari ini kau masih bilang
itu ‘MUNGKIN’?”
“Media masa jaman sekarang tidak bisa menjadi
patokan, Sandra. Kau sendiri sudah tahu akan hal itu.”
“Tapi jika kemungkinan dia ada di sana, untuk apa
menyusul dia ? Toh kasusnya sudah diangkat lagi.” Wildan ikut menyuarakan
pendapatnya.
Kini ruang itu mulai riuh. Untung saja dindingnya
dilapisi peredam suara.
Ruangan khusus yang diminta oleh El pada ayahnya
selaku pemilik Universitas ini memang sungguh luar biasa. Dengan desain
langsung dari El, ruang dua lantai itu disulap menjadi basecamp untuk mereka.
Lantai pertama sebagai tempat santai mereka yang
terdiri dari dua buah kamar tidur, meja makan plus dapur, Mini garden dan Relax
space. Lantai kedua sebagai Work space yang berisikan alat tempur mereka
seperti meja, sofa, dan Smartboard.
“STOP ! Tunggu dulu. Aku mau tanya satu hal El
terlepas dari masalah ini. Kapan dan bagaimana bisa kamu memasangkan alatmu itu
padanya ?” Wildan memutus perdebatan dalam diskusi.
Sandra yang tengah berceloteh mengajukan berbagai
alasan tiba-tiba diam ikut tertarik dengan apa yang ditanyakan oleh Wildan. El
tersenyum kemudian berakting berpikir.
“Sejak dia bersama kita.”
“Sejak awal?” Wildan kembali bertanya dan dijawab
El dengan anggukan.
“Kenapa?”
“Semua tentang dia tidak ada yang bisa dipercaya.
Karena penasaran, jadi kupasanglah.”
“Kenapa tidak memberitahu kami ?” Selidik Sandra
yang diikuti Wildan dengan mendekatkan wajah pada El.
Dan El hanya menampakkan gigi rapinya dengan
bergumam “Ah, Sial.” Tamatlah riwayat El hari ini.
------------------------
Di malam yang dingin, purnama tampak gembira.
Lantaran telah mempertemukan kembali dua insan yang lama terpisah untuk kini
sekadar berbagi hati.
Perempuan dengan piyama putih berbentuk dress
menatap dalam penuh rindu pada sosok laki-laki di hadapannya. Ia tersenyum
bahagia seolah pundi-pundi rasa yang selama ini dia pendam pecah.
“Kenapa baru sekarang?” Ujar perempuan dengan
berjalan mendekat. Pelan tapi pasti. Langkahnya yang gemetar membuktikan bahwa
pertemuan ini bukan pertemuan biasa.
Namun tanpa mereka tahu. Ini bukanlah pertemuan, melainkan
perpisahan. Takdir telah menuliskan agar ini terjadi pada mereka.
Suatu hal yang tragis dalam kisah cinta suci yang
tak bisa kembali.
“Jika cintaku tidak tersampaikan. Biar anakku
kelak yang membawanya.” Gumam perempuan itu dalam pangkuan sang laki-laki.
Darah mengalir deras dari keningnya.
Purnama yang
awalnya gembira kini lenyap terganti guntur. Malam menjadi gaduh seolah ikut
menangisi mereka.