Enam bulan yang lalu.
Saat semua tengah sibuk dalam berbagai acara.
Terlihat seorang pemuda yang justru bersantai menghadap sebuah hologram sembari
memasukkan camilan ke dalam mulut. Di ruang ber-AC itu hanya dia sendiri
ditemani dengan mesin-mesin teknologi hasil karyanya.
Biasanya ada dua orang lagi, namun mereka sedang
tidak peduli lantaran obsesinya dengan mesin teknologi yang menangkring di sisi
kanan ruang.
Walaupun terkesan sedang santai, ekspresi wajah
yang dipasang malah terlihat serius. Ia memperhatikan gerak kumpulan huruf yang
bergulir ke atas di layar hologram. Kumpulan huruf-huruf itu hanya bisa
dimengerti oleh beberapa ahli teknologi.
Selagi ia memeriksa
kode dalam program buatan, layar smartphone miliknya menyala beberapa kali.
Menampilkan balon-balon percakapan yang secara aktif terus bermunculan.
“Sial, camilan habis
lagi.” dengus pemuda itu sambil memandang bungkus kosong. Jari jemarinya belum
menyerah mencari sisa-sisa makanan yang mungkin masih bisa ia lahap. Sayang,
ternyata bungkus itu telah benar-benar kosong.
Ia harus menahan rasa
lapar sampai ia akhirnya mau beranjak menuju kantin. Sebenarnya ada dapur di
lantai bawah. Tapi tidak ada bahan yang bisa dimasak untuk memuaskan perut.
Beberapa menit
kemudian sang perut membunyikan gendang. Mengalun pelan seolah meronta meminta
makanan. Si empu mau tidak mau ia harus melepas rasa malas untuk segera pergi untuk
menenangkan perut miliknya.
Seperti yang ia duga.
Hari ini kantin sangat ramai dipenuhi oleh manusia-manusia beringas yang
kelaparan. Lihatlah bagaimana mana mereka mencaplok gundukan nasi hangat, ayam,
dan segala jenis makanan.
Pemuda itu menghela
nafas berat. Menyeret kaki malas memasuki kantin. Memilih bangku kosong di
pojokkan sebagai target mendudukkan diri untuk makan.
Tiba-tiba,
ketika tangannya menyentuh sandaran kursi, suasana yang tadinya riuh penuh
hiruk pikuk berubah menjadi romantis. Sepasang tangan saling bersentuhan, mata
yang sama-sama memandang dan tatapan yang kian lama kian mendalam.
Seolah ikut hanyut
dalam euforia, orang-orang yang berada di dalam kantin memandang adegan itu
penuh arti.
“Kau!”
“Kamu!”
Dua
kata itu keluar bersamaan.
“Astaga!”
Keduanya
melepas tangan yang sedari tadi berpegangan. Momen berubah menjadi akward
setelah mereka sadar bahwa mereka adalah sesama laki-laki.
“Kamu,
El Fath bukan?”
El
yang ditanyai menjawab melalui anggukan. Mengambil kursi di sebelah kemudian
duduk berseberangan.
“Kau
Karya? Karya Yudha Angkasa? Ternyata kita satu universitas. Aku terkejut.”
“Begitulah.
Sama halnya denganku.”
Kedua
orang itu kemudian bercakap-cakap cukup lama.
---------------
“SIALAN!
Apa mereka benar-benar menolak proposalku? Apa yang salah dengan mereka?”
Terdengar
suara nyaring dari lorong koridor. Sandra yang sedang berbicara melalui
smartphone terlihat kesal menyebabkan lengkingan suara itu semakin terdengar.
Ia
mengepalkan tangan dan meninju udara kosong berkali-kali. Tidak cukup meluapkan kesalnya. Ia kembali
menendang tembok dan membuat kakinya terasa ngilu.
Di
ujung lorong, seseorang memperhatikan Sandra dengan bingung, terpesona dengan
tingkah lakunya. Tidak biasa baginya untuk tertarik pada seseorang yang begitu
mudah melepaskan emosinya.
Bukan
niat awalnya untuk memperhatikan seorang gadis yang tengah meluapkan emosi.
Tujuan pergi menuju lorong agar bisa sejenak istirahat melepas topeng yang
dipakai. Tapi suara nyaring Sandra membuatnya tidak bisa mengabaikannya.
Berkali-kali
ia coba kembali fokus, tapi lagi-lagi Sandra mencuri perhatian. Tidak biasa
baginya untuk memperhatikan gadis aneh itu. Entah kenapa gadis itu seperti
memiliki karisma yang mampu mengambil atensi miliknya.
Semakin
ia coba tak acuh, semakin besar pula kekuatan magis itu bekerja.
“SIALAN!”
Umpat Sandra, mengakhiri percakapan lewat smartphone. Lalu pergi meninggalkan
koridor. Membuat seseorang itu tanpa sadar menarik bibir untuk sedikit
menyeringai.
--------------
Derap
kaki terdengar jelas menuju sebuah pintu. Lalu tampak kaki melayang mendobrak
pintu itu.
“El,
lihatlah kelakuan para pegawai ayahmu. Mereka pantas sekali dipecat. “ Cerocos
Sandra tanpa aba-aba yang membuat seisi basecamp terkejut.
El,
Wildan serta Karya yang kebetulan sedang berada di dalam tertegun. Mereka tidak
bisa berkata-kata karena tingkah Sandra yang tiba-tiba marah tidak jelas.
Sandra
menyadari jika ada orang lain dalam basecampnya dan langsung berubah menjadi lebih
lembut. Menarik nafas sebentar lalu tersenyum manis.
“Hai?
Siapa ini?” Tanya Sandra sembari meredakan emosi. Ia harus berusaha jaga image
di depan orang baru. Apalagi dengan sosok tampan yang sekarang sedang duduk
memperhatikannya.
“Karya.
Teman El.” Sosok tampan itu tersenyum dan memperkenalkan diri. Pawakanya yang
kekar dengan warna mata yang coklat agak keabu-abuan lantaran sebuah softlens
menempel ikut serta mempercantik bola mata.
“Ah
ini karena aku lebih nyaman memakainya ketimbang pakai kacamata.” Jelas Karya
melihat Sandra yang ingin bertanya namun diurungkan.
Sandra
mengernyitkan dahi. Bagaimana Karya menyadari tingkahnya yang bahkan El dan
Wildan selaku teman saja tidak terlalu memperhatikan. Sepertinya sosok tampan
itu akan sangat menarik untuk Sandra.
“Kau
sudah makan? Kalau belum ada nasi ayam di dapur.”
Ucapan
El membuat Wildan dan Sandra langsung bertatapan. Kalau soal makanan mereka
berdua tidak bisa dipisahkan. Seperti malam dan siang, atau seperti bintang dan
rembulan. Terkadang bisa akur berbagi tapi terkadang juga bisa saling
berkompetisi.
Mereka
berdua kemudian mengambil piring, mencampurkan dua bungkus nasi ayam dan
memakannya bersama. Seperti ritual biasa, tidak ada rasa jijik sama sekali di
antara mereka.
“Kenapa
baru bilang sekarang kalau ada makanan, El?”
“Aku
menunggu, Sandra. Kalau tidak nanti bisa kau habiskan semua. Hitung-hitung juga
memberimu pelajaran karena harus membuatku turun ke kantin untuk makan.”
“Tapi
kalau kau tidak ke kantin. Kau tidak akan bertemu dengannya.” Bela Wildan di
sela-sela makan. Suaranya agak sedikit tidak jelas karena mulut penuh dengan
sesuap lebih makanan. Untung saja tidak menyembur ke luar.
El
yang mendengar ucapan Wildan hanya terdiam seperti mengiyakan. Benar memang
jika saja ia tidak pergi ke kantin. Ia tidak akan bertemu dengan Karya. Teman
yang sama-sama memiliki obsesi persis seperti dirinya.
---------------
Tepat
pukul 05.30, lampu kamar yang redup langsung menyala. Disusul dengan gorden
jendela yang terbuka.
“Selamat
pagi tuan.”
“Pagi
Enigma. Masih terlalu pagi. Tutup kembali gorden dan matikan lampu.”
“ik
tuan, hasil pencarianmu sudah saya siapkan.” Gema suara itu berhenti kemudian
disusul oleh bunyi ‘bip’ yang menampilkan sebuah layar hologram dengan detail
tulisan gambar.
Sang
tuan yang masih mengantuk, berubah semringah. Senang hati ia memperhatikan
penjelasan yang diberikan oleh asisten cerdas miliknya.
Tidak
semua asisten cerdas dapat secanggih dirinya. Walaupun belum ada bentuk fisik.
Namun virtual asisten itu sungguh sangat membantu kehidupan sang tuan.
Meski
masih dalam tahap pengembangan. Virtual asisten tersebut sudah dipasarkan dengan
harga yang tinggi dan hanya beberapa orang saja yang bisa menggunakan beta
version dari asisten canggih tersebut.
“Jadi
aku harus berteman dengan sekumpulan orang-orang itu ? Tidak ada opsi lain ?”
Layar
hologram itu kembali menampilkan grafik data dengan beberapa penjelasan.
“Baiklah
kalau begitu.” Sang tuan hanya bisa pasrah.
Kemudian
ia beranjak dari tempat tidur. Menyingkap selimut yang menutupi tubuh. Berjalan
pelan untuk mandi mempersiapkan diri bekerja.
Tampak
sebuah tubuh dengan otot-otot perut tersusun rapi. Kulit coklat tapi sedikit
putih terlihat begitu indah kontras dengan celana pendek hitam nan ketat yang
masih menempel. Bayangkan jika kaum hawa melihatnya pasti akan jadi masalah.
“Kumpulkan data
tentang pengembangan teknologi terbaru, ambil juga yang ada di Aitech. Kau bisa
mengambil semua itu tanpa seizinku bukan?”
“Baik tuan. Menyiapkan dari sekarang.”
Asisten tersebut
menjalankan perintah sang tuan. Sedangkan sang tuan menyiapkan diri untuk
kembali bertempur. Kembali dalam medan perang yang memaksa dirinya harus bisa
menjadi apa pun untuk mendapatkan kembali bukti cinta yang telah hilang.